samaritanism?

“Kepala” blog saya mungkin sedikit “berlebihan” karena mungkin melampaui makna kata yang sesungguhnya. Sebenarnya, samaritanisme saya coba adopsi dari kata samaria sebuah nama daerah yang tidak terlalu populer – yang dulunya membentang luas dari laut Mediterrania sampai Decapolis (sekarang garis perbatasan dalam peta udah berubah). Orang-orang samaria atau Samaritans sebenarnya dikenal sebagai warga negara yang tidak senang tunduk kepada kepala penguasa (dalam hal ini khususnya penguasa politik), terbukti dalam catatan sejarah mereka beberapa kali menghancurkan simbol kekuasaan politik diwilayah mereka. Namun demikian, mereka termasuk orang yang taat “beragama” – dalam perjanjian lama mereka dikenal penyembah berhala yang tekun.

Pada umur saya sekitar 6 – 13 tahun, saya tidak terlalu menaruh perhatian pada cerita guru sekolah minggu kami tentang kemurahan hati orang Samaria. Saya berpikir itu hanya sebuah perumpamaan yang digunakan Yesus untuk menemplak orang-orang Yahudi. Beberapa tahun kemudian, pada saat saya tengah merampungkan studi akhir di Universitas Sam Ratulangi (2006), saya dan beberapa teman aktivis pada sebuah kesempatan rehat (atau tepatnya sedang bermalas-malasan selepas: kuliah, demo, debat, seminar, diskusi, bedah buku, hearing, lobby, anjangsana, pengkaderan, propaganda, dan daftar panjang lainnya), kami menonton sebuah drama berjudul: “love story in Harvard” (secara tidak sengaja). Ya! tak disengaja, karena kami tak merencanakan untuk mengisi waktu rehat/recharge time kami hanya untuk menonton drama melancholic yang waktu putarnya sehari-semalam, sekitar 20 serial. Wah, yang benar saja! seru seorang senior kami saat itu! aktivis kok nonton drama gituan!

Sekitar jam 6 petang, langit nampak mendung dan “rasanya” gelap malam lebih cepat dari biasanya saat itu. Seharusnya pada saat-saat rehat, biasanya kami pergi ke pantai Boulevard menikmati pisang goreng hangat ditambah dabu-dabu khas, ditemani aqua isi ulang yang sengaja kami kantongi dari sekret(nama untuk menyebut sekretariat). Namun, sore itu kami memilih untuk tidak keluar dari sekret, karena tak mau kehujanan. Singkat cerita, salah seorang dari kamipun menginisiasi untuk memutar sebuah film, “akh….. ternyata Drama! Ganti yang lain lah!” seru senior kami yang bertubuh ramping dengan rambut khasnya yang gondrong! “diam……Nonton saja lah!” perintah Ketua kami yang berbadan tambun namun super lincah dan gesit! huh…… tapi, demi solidaritas dan rasa persahabatan yang dalam kami pun duduk setengah mengeluh melantai dan menonton bersama. Beberapa menit kemudian alur cerita drama itu ternyata bercerita tentang perjuangan mahasiswa Hukum dan Kedokteran yang kuliah di universitas tersohor dunia (hmm… apalagi kalau bukan Harvard University).

Kata Samaritan pun kembali saya dengar dalam sekuensi drama itu. Lagi-lagi bercerita tentang kemurahan hati orang Samaria. Dikisahkan, dalam alur drama itu “seorang mahasiswa Hukum tengah menyelesaiakan masalah pelik yang menimpa rekannya seorang Mahasiswi cantik dari Fakultas Kedokteran yang diperkarakan karena dianggap telah melakukan mal-praktek sebab dia sangat berani mengambil tindakan medis terhadap seorang pasien setangah mati setengah hidup, tanpa lisensi kedokteran. Nampaknya, tak ada pembelaan hukum yang bisa menolongnya sampai sang mahasiswa Hukum tersebut menerima saran dari profesornya untuk mencoba menerapkan “the Samaritan Law”.

Semoga, nilai-nilai hidup orang samaria yang murah hati itu, kembali menginspirasi jiwa kita dan dunia kita…..